Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Book Review - Tarian Bumi by Oka Rusmini

Judul : Tarian Bumi
Penulis : Oka Rusmini
Designer cover : Suprianto
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 182 Halaman
Tahun terbit : Cetakan Kedua, Juni 2013

Blurb : 

"Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengerluarkan keluhan. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri."

~oo~

Jika novelis Inggris, Graham Greene, merasa telah menemukan India yang sebenarnya justru dalam novel-novel dan cerita-cerita pendek yang ditulis R.K Narayan, maka tak berlebihan jika kita pun merasa telah menemukan Bali yang sebenarnya melalui novel ini. 
Horison, Juli 2001

Bagi pembaca luar bali, novel Oka Rusmini bukan saja indah dinikmati sebagai sastra melainkan pula mencerahkan banyak segi pemahaman lebih esensial dan kesalehan spiritual manusia budaya Bali. Kehadiran Oka Rusmini benar-benar fenomenal bagi karakter local genius Sastra Modern Indonesia mutakhir.
Dami N. Toda, Matabaca, Vol. 2/No.1/September 2003

***

Novel ini bercerita mengenai kehidupan Luh Sekar, seorang perempuan Sudra dari keluarga biasa saja, keluarga miskin lebih tepatnya. Ia memiliki seorang ibu bernama Luh Dalem dan dua orang adik kembar. Mereka bertiga hidup dengan penuh kesusahan tanpa seorang ayah. Sejak ibunya menjadi buta, sekar harus bekerja banting tulang demi membuat dapur keluarganya terus mengepul padahal saat itu usianya baru 10 tahun. Dari situ, timbul suatu gejolak dalam diri Sekar, "Kenapa laki-laki enak sekali hidupnya? Tidak harus bekerja, kerjaannya hanya bersantai di Warung Kopi dan sabung ayam serta main perempuan." Sekar jengah dengan kehidupannya yang selalu dalam kesusahan hingga akhirnya sekar memiliki sebuah ambisi ia harus menjadi penari yang tersohor sehingga ia dapat memikat laki-laki Brahmana dari keluarga griya sehingga ia dapat menjadi seorang bangsawan. Ambisi Sekar akhirnya terwujud. Ia menjadi penari tersohor dan akhirnya menikah dengan seorang laki-laki Brahmana dari keluarga griya bernama Ida Bagus Ngurah Pidada dan harus menanggalkan nama "Luh Sekar" dan menggantinya dengan nama "Jero Kenanga". Ia memiliki seroang putri bernama Ida Ayu Telaga Pidada.

Banyak sekali hal-hal miris yang saya temukan di dalam buku ini. Tentang 'perjuangan' seorang Sekar mewujudkan ambisinya yang harus melalui banyak pengorbanan seperti harus menanggalkan namanya. Harus meninggalkan seorang Ibu yang amat dicintainya, harus meninggalkan keluarganya karena sejak menikah dengan seorang Brahmana, otomatis derajat sekar tidak lagi sama dengan Ibunya. Pergejolakan demi pergejolakan harus Sekar hadapi. Dari sikap sinis mertuanya hingga adat-istiadat kental yang tak boleh ia langkahi. Pengorbanan yang besar demi meraih gelar kebangsawanan. 

Saya memang bukan penggemar bacaan 'berat' semacam ini. Jujur saja saya sempat menyerah saat telah membaca 20 halaman, hingga buku ini hanya berdiam manis diatas meja tanpa saya sentuh. Akhirnya kemarin saya coba untuh tabah melanjutkannya kembali karena saya juga penasaran. Sebagai seorang yang bukan berasal dari Bali, sungguh saya sangat kesulitan mencerna isinya. Beberapa kali saya harus googling untuk mencari tahu seperti apa itu tari oleg, tari jogeg, sekehe, daksina, dan lain sebagiannya. Entah karena rasa penasaran ataukah saya yang memang 'kerajinan' :D

Ada satu alur dimana Luh Dalem--Ibu Sekar meninggal. Alur yang membuat saya terhenyuh. Saya sedih sekali membaca bagian ini :

Ibu kenanga harus benar-benar menyerah pada Sang Hidup yang telah meminjamkan perjalanan padanya. Perempuan itu mati tenggelam di sungai. Bahkan dalam kondisi sudah menjadi mayat, Luh Dalem tetap tidak mendapat tempat.
"Perempuan itu tidak boleh diabenkan. Dia harus dikubur selama 42 hari. Perempuan itu mati salah pati., mati yang salah menurut adat." Luh Sekar, Jero Kenanga muda, marah dan tidak bisa menerima perlakuan itu. Orang-orang mengingatkan Sekar bahwa ini soal adat. Kalau adat tidak dilaksanakan, akan timbul wabah bagi generasi desa ini selanjutnya. Akhirnya Luh Dalem disemayamkan di jalan raya. Mayatnya tidak boleh masuk rumah. - Halaman 82

Saya sangat menaruh rasa simpati yang begitu besar terhadap Sekar dan Ibunya. Saya tidak tahu bagaimana perasaan Sekar harus 'mengalah' pada adat sehingga ia tidak bisa melakukan sesuatu untuk ibunya bahkan untuk yang terakhir kalinya :"(
Dan juga saya kasian terhadap ibunya, bahkan saat kematiannya pun dia tidak mendapatkan tempat dan sesuatu yang layak. Hidupnya penuh dengan kesusahan sampai akhir hayatnya :""(

Nanti juga akan di ceritakan bagaimana kehidupan Ida Ayu Telaga Pidada yang juga berkorban. Tidak seperti Ibunya yang rela mengorbankan segalanya demi gelar kebangsawanannya. Telaga justru sebaliknya. Telaga jatuh cinta pada Wayan Sasmitha, seorang laki-laki Sudra yang hanya bekerja menjadi seorang pelukis. Telaga tidak menyesal dengan pilihannya. Telaga hanya jengah menghadapi segala sesuatu dalam hidupnya terlebih soal 'status' yang selalu menjadi jurang pembeda dalam hidupnya. Ia menjadi semacam pendobrak untuk mencari kebebasan yang ia rindukan selama ini. Kebebasan sejati, walaupun tidak ada yang namanya kebebasan yang abadi. Telaga harus rela mengorbankan segalanya, termasuk statusnya sebagai Ida Ayu dan lebih memilih untuk menjadi perempuan Sudra. 

Saya terkesan dengan pilihan yang diambil oleh Telaga, walaupun harus menanggalkan gelar kebangsawanannya dan hanya menjadi perempuan sudra biasa. Di dalam novel ini menggunakan alur campuran (Maju-Mundur-Maju) dengan sudut penceritaan penulis serba tahu ceritanya. Penulis menceritakan secara bergantian antara kehidupan Sekar sebelum menjadi bangsawan dan kehidupan Sekar setelah menjadi bangsawan. Juga tentang kehidupan Telaga--anak sekar, serta kehidupan Telaga dan Anaknya.
Walaupun novel ini sempat sedikit sulit untuk dipahami, tapi saya cukup menikmati alurnya. Sesekali saya mengerutkan dahi saat menemukan hal-hal yang tidak saya pahami tapi disisi lain perasaan saya seperti teraduk-aduk oleh ceritanya. Novel ini memang membicarakan tentang perempuan karena sebagian besar adalah perempuan. Tentang peremuan yang selalu dihadapkan pada dua pilihan anatara memilih Adat atau sebuah kebebasan. Dua hal yang bertolak belakang. Tentang dunia mereka yang 'terkekang', tentang hak-hak mereka yang masih terbatas oleh status sosial antara Sudra dan Brahmana. Tentang pencarian jadi diri mereka sebenarnya. Tentang realita yang dipaparkan dalam setiap alurnya. 

Saya memang bukan penggiat sastra, boro-boro ngerti :D
Tapi saya membuat review ini berdasarkan dari apa yang saya baca dan apa yang saya rasakan. Baru kali ini saya bingung saat akan mereview buku ini, bingung untuk memaparkannya takut malah jadi spoiler kan -__-
Intinya, kalau kamu penasaran baca aja deh :p
tapi, saya nggak tanggung jawab kalau misal kamu bisa suka atau enggak ya :D

Beberapa kalimat favorite saya :

"...Manusia hidup memiliki keinginan. Itulah menandakan manusia itu hidup. Batu juga memiliki keinginan. Dalam kediamannya dia mengandung seluruh rahasia kehidupan ini." (Hal. 85)

"Dulu tiang senang mengajar di sekolah tinggi. Murid-muridnya terlihat serius untuk memeperdalam tari. Sayangnya, mereka tidak berusaha menyimpan dan mencatat untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka belajar sekedar untuk lulus. Mereka tidak menginginkan lebih. Meneliti, misalnya. Justru orang-orang asing yang sering mengunjungi tiang, bertanya banyak hal. Tiang perempuan bodoh. Tidak bisa membaca, tidak bisa menulis. Yang tiang herankan, kemana larinya orang-orang yang makan bangku sekolahan itu? Kenapa bukan mereka yang menulis tentang bumi ini, peradaban ini? Tiang tidak mengerti. Bahkan, mereka tega menawari tiang untuk jadi tontonan di hotel-hotel dengan bayarang yang sangat tidak pantas. Semua telah berubah. Tiang jadi tidak mengenal tanah kelahiran sendiri." (Hal. 93)

"...Tugeg harus belajar dari pengalaman. Jangan pernah lari dari kenyataan. Semua harus dihadapi dengan berani. Semua orang memiliki peristiwa-peristiwa besar dalam hidupnya." (Hal. 104)

"Di dalam hidup ini kita sering menginginkan peran orang lain. Kita selalu merasa dengan menjadi orang lain kehidupan jadi lebih mudah. Nyatanya? Bermimpi untuk jadi orang lain justru membuat kita semakin menyulitkan diri dan membenci peran yang kita mainkan, yang sudah jadi hak kita. Kita tidak bisa menukar peran." (Hal. 135)

Novel ini mungkin tidak cocok dinikmati saat kamu sedang pusing dan pikiran kamu lagi kacau. Karena novel ini butuh pemahaman yang lumayan 'berat' kalau hanya sekedar  untuk menjadi teman bersantai. Dan sepertinya, novel ini memang cocok dijadikan bahan sebuah kajian.Kabar baiknya adalah saya jadi sedikit tahu tentang bahasa bali dan budayanya ^___^

Saya menyematkan tiga bintang untuk karya yang bisa dibilang luar biasa ini. Fenomenal!


Mita Oktavia
Mita Oktavia Lifestyle Blogger yang suka menulis, melukis, bermain game, dan bertualang | Penawaran kerja sama, silakan hubungi ke hello.mitaoktaviacom@gmail.com

4 komentar untuk "Book Review - Tarian Bumi by Oka Rusmini"

  1. kurang suka baca novel yang kayak begini, tapi berkat novel kayak gini yang bahas tari-tarian Indonesia secara gak langsung bikin tarian gak dilupakan. Keren

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga kurang suka awalnya, bahkan sempet saya tinggalkan :D
      Tapi setelah diselami ceritanya, saya malah menikmatinya. Banyak hal yang bisa diambil sih dari buku-buku model begini. Biasanya suka ada kritikan-kritikan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Ada beberapa pengetahuan budaya yang juga saya dapat dari buku ini :D

      Hapus
  2. Novel sejenis, Ronggeng Dukuh Paruh yang difilmin dan ganti judul jadi "Sang Penari" Hehehe...

    BalasHapus