Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

New (Neta) Years




 “Ada planning untuk tahun baru, guys?” teriak Jesica memecah keheningan Warung Mbok Jum. Beberapa pasang mata yang saat itu sedang asik dengan piring mereka masing-masing mulai beralih memandang cepat kearah Jesica.

“Enggak ada nih, jes.” Sahut Ario cepat

“Bikin acara, yuk!” Ajak Jesica bersemangat

Jesica memang dikenal sebagai si wanita modis -pelopor-pergerakan-emansipasi-bagi-para karyawan di kantor ini-. Jujur saja, Neta paling malas untuk berpergian kemanapun saat tahun baru. Ya, terserahlah jika semua orang berpendapat Neta adalah wanita super aneh, super absurd. "Terserah lah orang mau berkomentar apa tentang Gue, yang jelas I don’t care"-- itu kalimat andalan yang selalu Neta lontarkan. Bukannya anti-sosial, Neta hanya malas. Untuk apa coba merayakan tahun baru dengan hura-hura? Mendingan tidur selimutan di kasur sambil males-malesan nonton tv, atau baca komik yang bisa bikin ketawa, dan senang. Daripada menerjang kemacetan dimana-mana. Lagipula, makna tahun baru kan hanya sekedar tahun yang berganti saja, kan? Jumlah hari, bulan, dan tanggalnya juga sama aja, kok. Yang terpenting adalah makna dan tujuan kedepannya, Bukan bagaimana meriahnya perayaannya. Bukannya apatis, Neta hanya menemukan kenyamanan yang menurutnya "Anti-Mainstream", itu saja.

“Oh ya, Net, lo gimana? Mau ikut kan? Jangan bilang enggak ikut. Awas aja!” Jesica mengancam.

Duh, mampus gue! Si jesica tau aja lagi pikiran gue—Neta  membatin

“Emmm, gimana ya jes, tapi gue emang enggak bisa.” Neta memutar pandangannya ke arah Pras. Ia takut menatap mata jesica yang tajam seperti pisau.

“Apa? Acara keluarga? Bokis banget lo! Paling juga kegiatan lo cuma selimutan unyu-unyu di kasur. Ayo lah, sekali-kali lo harus ikut kita. Janji deh, bukan clubbing atau yang aneh-aneh. Acaranya Cuma sekedar kumpul-kumpul biasa kok.” Jesica meyakinkan. Seantero kantor ini tahu bahwa selain terkenal modis dan pelopor pergerakan emansipasi bagi karyawan. Jesica juga sebagai “Miss Optimis”. Calon korban yang diyakinkan oleh Jesica pasti selalu berhasil. Entahlah, dia belajar jurus ‘rahasia’ itu darimana. Masih jadi pertanyaan.

“Tau lo, net. Setiap diajak kemana juga enggak pernah mau. Jangankan untuk yang ngeluarin uang, yang untuk gratis aja lo gak mau. Payah.” Ario menimpali

Dasar kompor meledug!—Rutuk Neta dalam hati. Ario memang terkenal dengan sifatnya yang tukang ngompor-ngomporin. Enggak heran, kalau di Kantor ini ada yang lagi perang dingin, eh malah makin memanas. Ya, naik tingkat jadi perang panas!

“Alah, lo kompor amat sih, yo. Udahlah kalo emang Neta engak mau ya jangan dipaksa.” ucap Pras berusaha menengahi perdebatan sengit itu.

Siapa sih yang enggak kenal Pras? Cowok berkulit hitam manis yang nyaris perfect ini. Jadi bahan modus-an cewe-cewe divisi sebelah. Pras memang punya sisi kharismatik, Neta akui itu. Dan ya, selain itu Pras memang terkenal sebagai si "Tuan yang bijaksana", karena sifatnya yang adil itu. selalu dapat memecahkan masalah serumit apapun yang terjadi.

Sebelumnya, kenalin gue Raden Anindya Renata, di akta kelahiran sih tertulis begitu tapi entah dari mana asalnya orang-orang lebih seneng manggil gue Neta. Iya, nama depan gue emang Raden bukan gue yang mau tapi itulah memang nama gue, sebenernya keturunan dari nyokap gue yang emang katanya sih berdarah biru. Oh iya, gue sekarang kerja di salah satu perusahaan pembuatan kertas di kawasan industri Tangerang, divisi humas sih lebih tepatnya. Gue di sini nge-kost, rumah orang tua gue di Bogor.

“Oke, gue ada ide.” Jesica kembali bersuara memecah keheningan yang ada. Semua pandangan langsung menuju ke arah Jesica. Jesica melanjutkan, “Gimana kalo kita tahun baru di Bogor, di rumah orang tuanya Neta. Yang setuju angkat tangan.”

APA-APAAN INI SI JESICA, BELUM MINTA PERSETUJUAN YANG PUNYANYA UDAH MAIN MINTA PERSETUJUAN YANG LAIN AJA! Rutuk Neta kesal.

“Boleh juga jes ide lo, gue setuju!” Ario menimpali

“EH! APA-APAN, belum juga gue bilang setuju udah main pada setuju-setuju aja. Dadakan banget sih,  gue kan belum bilang ortu gue.”

“Yaelah, Net. Tahun barunya kan masih 4 hari lagi.” Jesica kembali berargumen

Cih, menyebalkan ini manusia-manusia kompor, ember!—rutuk Neta menjadi-jadi. Hatinya panas, seperti terbakar. Neta paling benci hal-hal seperti ini. Terjebak dalam situasi yang memberatkan. Tidak menyenangkan juga tidak menguntungkan untuknya.

“Iya tuh, Neta kan belum bilang ke ortunya. Lagian kalian udah kelewatan, menyudutkan Neta banget ini sih namanya.” Pras kembali bersuara. 
Emang Pras yang paling mengerti gue—batin Neta

“Udahlah, Pras. Lu jadi seksi setuju aja. Dan untuk lo, Neta. Lo tinggal pilih mau teraktir kita di Restoran mahal atau—rumah lo di Bogor kita ‘pinjem’ sehari aja untuk tahun baru. “ Jesica memberi penekanan pada kata ‘pinjem’ yang sebenerenya gue tahu niat dia adalah mau memporak-porandakan rumah gue. Oh, God!

Sial! Kenapa harus teraktir di Restoran mahal sih, gue aja makan selalu di irit-irit. Sebagai anak yang baik dan perantau yang berusaha mandiri. Bisa survive walau jauh dari orang tua, hati gue mulai bergetar. Keputusan yang sulit. Tapi, gue harus tetap mengedepankan citra diri gue sebagai anak perantauan yang mandiri. Sekali lagi, mandiri ya bukan pelit. (walau dua-duanya, beda tipis, sih, hehe)--batin Neta kemudian

“Ya gue harus bilang dulu lah ke ortu gue. Masa iya tiba-tiba, anaknya yang udah enggak balik 2 kali lebaran, dua kali puasa.Eh, dateng-dateng langsung berantakin rumah mereka. Bisa di pecat jadi anak mereka nanti gue!”

“Bang toyib kali. Lagian lebay amat sih lo, Net. Tangerang—Bogor udah kayak Tangerang—London aja.” Jesica menimpali dengan senyum kemenangan yang ia pamerkan.

Jes, lo tuh cantik, serius deh tapi lo bagai siluman ular berkepala banyak—Rutuk Neta.

“Iya, nanti gue kabarin lagi ya. Tapi kalo orang tua gue enggak ngizinin, ya... mau gimana lagi kan?” Neta terkekeh.

“Oke deh, cantik. Kita tunggu ya konfirmasinya. Gue duluan ya, yo lo mau ikut gue enggak?” sahut jesica cepat

“Ayo deh Jes gue ikut. Entar lama-lama disini gue jadi ikutan aneh kayak si Neta. Pras lo gamau ikut?” Ajak Ario kemudian

“Enggak, duluan aja.” Sahut Pras cepat

Akhirnya setelah membayar dua porsi nasi lengkap dengan lauknya, Jesica dan Ario kembali ke ruangan mereka. Meninggalkan Neta dan Pras hanya berdua saja.

“Lo yakin Net?” Tanya Pras menjurus ke rasa ketidak-percayaan. Karena Pras tahu Neta bukan orang yang mudah diyakinkan.

“Udah, lo tenang aja, Pras. Everything’s gonna be okay.” Sahut Neta

“Okay kalo itu udah jadi keputusan lo, tapi gue enggak tanggung jawab ya kalo ada apa-apa.” Pras tertawa.

Neta ikutan tertawa. Mereka berdua larut dalam tawa.

***

            Tanggal 30 Desember, hari yang ditunggu semakin dekat. Neta sudah bertanya kepada orang tuanya dan mereka ternyata menyetujui. Jauh meleset dari perkiraan Neta. Ah, rencana Neta gagal. Mau tidak mau ia harus mau. Orang tua Neta malah senang jika anaknya akan pulang, apalagi bersama dengan teman-teman kantornya. Neta menolak, kalau acaranya tidak terlalu penting tapi orang tuanya malah mendesak. Yasudahlah..

            Jesica mendekati meja kerja Neta. Memasang tampang menganalisa cenderung menerka-nerka, Jesica penasaran dengan hasil perundingan antara Neta dengan orang tuanya.

“Jadi gimana, Net? Dibolehin kan? Pasti dibolehin dong?” Jesica begitu antusias menunggu jawaban Neta, seperti anak kecil yang akan diajak berlibur selama seminggu ke—dufan.

            Neta menghela nafas, “Iya, di bolehin, kok.”

            “Yipie! Apa gue bilang, pasti di bolehin.” Jesica semakin bersemangat

            “Oke, kita tinggal siap-siap aja on the way dari sekarang, kalo besok takutnya kejebak macet plus ada car free night lagi.” Ario menimpali tak kalah antusiasnya dengan Jesica.

            “Kalo gitu, ayo, kita ngebut nyelesein tugas kantornya. Biar cepet-cepet bisa cuuuus!” ucap Jesica kemudian


            Pras menatap Neta dalam, ia tahu ada sesuatu hal yang tak beres dengan Neta. Dibandingkan dengan Jesica dan Ario yang sangat bersemangat dan begitu gembira, Neta hanya lesu. Tak bersemangat. Pras menghampiri Neta.

            “Lo enggak apa-apa, Net?” tanya Pras sedikit cemas

            I’m okay, but...” kalimat Neta berhenti

            “Kalo emang lo enggak pengen cerita, enggak apa-apa, gue enggak maksa. Tapi kalo dengan cerita itu bisa bikin lo lebih baik ya kenapa enggak?”

            Neta hanya tersenyum sebagai jawaban bahwa ia memang perlu waktu untuk merangkai kalimat. Neta bingung harus mulai cerita dari mana.

            Everything’s gonna be okay.” Ucap Pras sambil menyunggingkan senyum

            Seluruh pekerjaan kantor selesai tepat pada saat jam kantor juga usai. Track record yang tidak biasa selalu terjadi pada masa-masa hari libur. Barangkali para karyawan enggan untuk meninggalkan pekerjaan kantor dalam agenda liburan mereka. Bagi mereka, Semua itu akan menghambat dan menjadikan liburan mereka tidak menyenangkan.

            Yes, I’m free!” Teriak Ario puas. Menyelesaikan pekerjaan kantor yang menumpuk dengan baik dan cepat membuatnya merasa seperti habis menang undian berhadiah saja. Menyenangkan.

            “Akhirnya selesai juga. C’mon, guys! Libur telah tiba. Saatnya kita liburan.” Ucap Jesica. Karena begitu kegirangan, perkataan Jesica itu lebih terdengar seperti sebuah lirik lagu anak-anak yang begitu familiar ditelingga Neta.

            Hanya Neta dan Pras yang tak berkomentar. Mereka berdua asyik dalam diam. Tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Yang bahkan tak terusik oleh kata “Liburan” yang begitu fasih Jesica ucapkan sejak jauh-jauh hari.

            “Ayolah, kita kan mau seneng-seneng. Kalian berdua kok kompak banget tanpa ekspresi gitu sih? Ih!” Jesica yang sedari tadi diam-diam memperhatikan mulai berkomentar.

            “Hore liburan” Ucap Neta datar

            “Ah, enggak asik lo, Net.” Ario bersuara setelah merapihkan meja kerjanya

            Pras yang sedari tadi sibuk merapihkan meja kerjanya—dan matanya yang tak lepas memandang Neta.

            “Udahlah, yang penting liburan kan?” Akhirnya Pras bersuara

            “Yuk, berangkat.” Ajak Jesica diikuti Ario, Pras dan Neta.


***

Dengan menaiki mobil milik Jesica yang berwarna pink bercorak hello kitty, mereka mulai menyusuri jalanan Kota Tangerang, hingga memasuki jalan bebas hambatan. Pras kebagian tugas menyetir, Neta kebagian tugas sebagai asisten supir yang duduk manis disebelahnya. Sementara Ario dan Jesica memilih duduk di belakang, bersantai-ria seperti putri dan putra kerajaan.  Sesekali Pras memperhatikan Neta yang duduk diam di sebelahnya sambil terus fokus pada jalanan, tak lama Neta tertidur. Kebiasaan Neta yang tak pernah hilang, selalu tertidur saat berpergian kemanapun dan dimanapun. Termasuk di dalam angkot sekalipun.

            Setelah menempuh perjalanan menembus jalan tol yang kondisinya ramai lancar selama empat jam lamanya karena sempat terjadi penumpukan kendaraan yang mengantri di beberapa pintu tol. Mereka sampai juga di sebuah Rumah yang tak terlalu besar namun begitu asri, dengan tanaman hijau yang tumbuh rapi di Halaman. Ranting dan daun yang basah serta air yang menggenang di tanah menunjukan bahwa hujan sempat berkunjung tadi kemudian meninggalkan jejaknya di kota ini.

            Mereka berempat kemudian turun dari mobil. Neta mengetuk pintu rumah orang tuanya. Hening. Tak ada satu jawabanpun.

“Yah kok ujan sih?” Ario berkomentar, memecah keheningan yang sedari tadi.

“Ya biarin aja deh sekarang ujan. Asal jangan besok aja pas taun baru.” Jesica menimpali

“Ya iyalah ujan, namanya juga kota hujan. Gimana sih lo berdua? Hah? TK nya nyogok ya? Hahahaha.” Neta sudah lebih baik sekarang. Bahkan, ia telah bisa melontarkan kalimat ejekan khasnya untuk Jesica dan Ario. Bagi Neta, Jesica dan Ario itu serasi, kenapa mereka enggak jadian aja sih. Tapi sayangnya Ario ataupun Jesica telah memiliki pasangan masing-masing.

Pras hanya dapat tersenyum lega, setidaknya Neta sudah kembali menjadi Neta yang ia kenal—Neta yang unik dan ceria.

“Kok enggak ada yang bukain ya?” Neta kebingungan, mendapati pintu rumahnya tak kunjung dibuka.

“Ya, mana gue tau. Yang punya rumahnya kan lo.” Ario menimpali

“Barangkali, lagi pada tidur. Kan kita nyampe disini udah kesorean.” Pras mengomentari kemudian.

“Sore apanya? Ini sih udah malem namanya.”  Jesica kembali bersuara

“Aduh, gue lupa lagi nelepon mereka kalo kita datengnya hari ini bukan besok.” Neta terkekeh sejenak.

“NETAAAAA!!!! Lo tuh ya ih, kebiasaan deh!” ucap Jesica gregetan. Ingin rasanya Jesica untuk mengacak-ngacak rambut Neta yang berpotongan bob ini

“Ya, sorry, gue lupa.”

Ario dan Pras yang menyaksikan percakapan kedua wanita berbeda kepribadian dan penampilan ini hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kenapa enggak lo telepon aja, Net?” Saran Pras

“Oh iya, kenapa enggak kepikiran dari tadi ya, hehehe..”

“Ya ampun, Net!” Seru Ario sambil menepuk jidatnya

Kekeh Neta kencang, “Bentar ya..”



Tut.. tutt.. tuuuut..

“Assalamu’alaikum, bu. Ini Neta udah ada di depan rumah bareng temen-temen. Udah ngetuk pintu tapi kok gak ada yang bukain ya? Hah? Apa? Ibu dan Bapak lagi ada di Rumah Eyang? Becanda kali nih Ibu, kan Neta udah bilang mau ke Bogor. yah, gimana dong, bu. Masa udah jauh-jauh harus pulang lagi ke  Tangerang. Oh, Mas Rengga enggak ikut. Yaudah deh nanti Neta telepon Mas Rengga. Yaudah deh, bu, Iya, walaikumsalam.”

Klik



“Gimana, Net?” tanya Pras penasaran

Neta terkekeh canggung

“Jangan bilang, rencana liburan kita gagal?” tanya Jesica curiga

“Aduh, gimana ya, ortu gue lagi di Rumah Eyang gue ternyata. Mendadak banget. Tapi kakak gue enggak ikut kok jadi kunci rumah ada di dia, deh.”

“Ih Neta, lo gimana sih sebagai tuan rumah? Hah?” seru Ario sedikit kesal

“Bentar.. bentar, gue telepon kakak gue dulu ya.”



Tut.. tutt.. tuuuut..tuuuut..tuuut

“Iya, Mas, Hallo, Ini Neta. Mas dimana? Oh di rumah Kak sundari. Yaudah cepet pulang, Mas. Iya, Neta udah di depan ruman nih bareng temen-temen. Udah bilang ke Ibu tapi mungkin Ibu lupa. Yeeee.. gitu banget deh sama ade sendiri, buruan pulang. Pokoknya  gue gak mau tau mas! Masa iya gue harus balik lagi ke Tangerang. Oke deh, dagh kakak gue yang super nyebelin. Cih, ngangenin apanya? Hahahah udah ah, tutup teleponnya. Yaudah, dagh!”

Klik



            “Gimana kalo kita nunggunya didalem mobil aja?” ajak Pras

            “Oke gue setuju!” Ario menimpali

***

            Jesica dan Ario memutuskan untuk tidur di dalam mobil. Lumayan kan, mengistirahatkan tubuh sambil membunuh waktu. Daripada bosen dan keburu bete duluan nunggu kakaknya Neta—Mas Rengga. Sementara Neta lebih memilih untuk duduk di teras rumahnya, mengamati sekitar. Sudah hampir satu tahun Neta pergi meninggalkan rumah ini, tapi suasanya tak pernah berubah. Masih sama seperti dulu. Pras terbangun, diliriknya bangku disebelahnya yang kosong. Tak ada Neta. Samar-samar Pras melihat ada seorang wanita duduk di kursi teras. Tak butuh waktu lama, ia telah dapat menebak, wanita itu adalah Neta. Pras bangun, beranjak dari bangkunya. Ia memutuskan untuk menghampiri Neta yang selalu terlihat asik dengan dunianya sendiri.

“Net.” Panggil Pras pelan.

“Eh, Pras, enggak tidur?” Neta sedikit kaget

“Udah kok, lo lagi ngapain? Enggak tidur?” Tanya Pras kemudian
”Lo tau sendiri kan Pras, gue udah nyolong start duluan tadi pas perjalanan ke sini, hehe.”

Hening.

“Eh iya, Net. Gue boleh nanya satu hal enggak sama lo?” Tanya Pras dengan mimik serius. Tidak biasa-biasanya Pras bertingkah seperti itu.

“Nanya? Soal apa?” Tanya Neta penasaran

“Hmm.. Kenapa lo terlihat not okay pas mau kesini?” Jawab Pras cepat

Neta bergumam, “Kadang, gue pengen banget meninggalkan semua ini, Pras. Meninggalkan kota ini dan segala kenangan di dalamnya. Gue hanya lelah dengan kota ini. Bukan berarti gue benci, gue tetep cinta sama kota ini. Biar gimanapun juga gue dibesarkan di kota ini, Pras.”

“Menghindari kenyataan maksud lo?” Tanya Pras cepat

“Enggak bisa dibilang gitu juga sih, Pras. Kadangkala, ada sesuatu yang tak terjelaskan oleh kata, Pras. Dan gue enggak bisa menjelaskan semua ini ke lo. Semua ini hanya bisa dirasain, disini—di hati ini.” Jelas Neta canggung

“Okay, gue enggak akan melangkahi batas privasi lo, Net. Tapi yang jelas. Menghindar tidak menyelesaikan apapun.” Sahut Pras cepat berusaha mencairkan suasanya

“Memang, tapi semua itu cukup untuk jadi penawar, Pras.”

“Maksud lo?” Tanya Pras cepat

“Hmm, Nothing.. lupain.”


Suara motor menderu, pandangan mereka berdua teralihkan oleh sorot cahaya yang cukup menyilaukan. Malam itu, gerimis kembali menyapa. Langit semakin pekat. Suasananya semakin terasa beku. Sebuah motor masuk ke halaman rumah Neta. Kakak Neta yang sedari satu jam lalu ditunggu akhirnya menampakan batang hidungnya juga.

“Eh Ney, udah lama nunggunya?” Tanya Rengga sambil mengacak-ngacak rambut adiknya itu. Semua masih seperti dulu, Rengga yang selalu memanggilnya Ney. Panggilan kesayangan khusus dari kakaknya untuk Neta.

Jesica dan Ario datang menghampiri

“Mas ih, apaan sih, gue kan udah gede kali. Malu tau!” ucap Neta cemberut. Meskipun agak terganggu dengan sikap kakaknya yang masih menganggapnya adalah seorang adik kecilnya yang manis padahal usia Neta kini sudah 22 tahun.

“Itu bentuk rasa kangen gue kali sama adek gue yang paling imut ini.”

“Mas rengga!”

Rengga tertawa puas. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada menggoda adiknya, dan membuatnya cemberut. Sejak Neta memutuskan bekerja di Tangerang, dan Rengga di Bogor. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Dan kebiasaan jailnya Rengga kepada Neta adalah salah satu hal yang dirindukan.

“Udah buruan buka pintunya, Mas. Sebelum kami semua membeku karena kedinginan.” Ejek Neta kemudian

“Alah lebay, dingin gini doang masa bisa bikin beku. Ngomong-ngomong, lo disini berapa hari, Ney?”

“Dua hari paling, lusa kita pulang.”

Jesica menyikut tangan Neta memberi sebuah kode, sambil bibirnya bergumam, “Lo punya kakak ganteng kenapa enggak cerita-cerita, sih?”

“Dia udah punya tunangan tau!”

Jesica hanya menanggapi dengan mimik muka –yah gue gak ada kesempatan dong berarti—

***

            Pergantian tahun yang dinantikan akhirnya tiba juga. Neta, Pras, Jesica, Ario, Rengga dan tunangannya membuat sebuah acara kecil-kecilan. Bakar-bakaran, dari mulai bakar ikan, bakar ayam dan bakar jagung. Beruntung langit hari itu bersahabat. Hitamnya masih pekat, tapi langitnya cerah. Hujan berkompromi untuk tidak datang mengunjungi langit kota kami.

            Saat asiknya bercengkrama satu sama lain, mata Pras mencari-cari sosok Neta yang hilang dari pandangannya, kemana Neta?”—batin Pras. Saat Pras tengah menjelajahi setiap sudut, dan dapat! Neta tengah berdiri di balkon lantai dua. Entah apa sebenarnya yang ada di pikirannya. Saat yang lain bersama, mengobrol dan becanda bersama. Neta justru menyendiri. Pras memutuskan untuk naik ke atas menemui Neta.

            “Net...” Panggil Pras canggung

            Neta sedikit kaget dengan kehadiran Pras, "Eh Pras.."

            “Kenapa lo disini? Enggak menikmati acara?” Tanya Pras kemudian

            “Enggak sih, Pras. Gue cuma... pengen sendiri aja.” Jawab Neta santai
            Hening.

            “Kenapa? Ada hal yang menganggu pikiran lagi?” Tanya Pras penasaran
            Neta terdiam sesaat, “Kadang gue mikir, waktu kadang cepat sekali berlalu saat kita menikmati proses kehidupan. Dan sekarang udah pergantian taun lagi aja.” lanjut Neta kemudian
            “Waktu enggak pernah berlari, Net. Jadi enggak ada yang namanya waktu berlalu cepat. Mungkin karena lo enggak sadari aja.” Jelas Pras cepat

            “Takdir pernah membenci gue, Pras.”

            “Membenci gimana maksud lo, Net?” Tanya Pras
            Neta kembali terdiam, “Dulu, gue pernah jatuh cinta sama laki-laki yang gue yakini soulmate gue banget. Kita udah menjalin kisah selama 5 tahun dari kita masih sama-sama culun pas SMA. Enggak bisa dibilang cinta monyet sih karena kita jatuh cinta pun karena proses. Waktu dan keadaan yang mengikat kita menjadi satu. Dan suatu hari sebelum tahun baru, pada bulan November dua tahun yang lalu gue langsung sadar bahwa gue terlalu naif. Gue bahkan terlalu percaya bahwa takdir dan waktu itu cuma milik gue dan dia. Gue bahkan percaya bahwa cinta enggak bakal pernah mendua. Gue bahkan percaya bahwa kesetiaan tak pernah mengkhianati perasaan tulus ini, Pras. Kemudian tanpa meninggalkan salam perpisahan untuk gue, dia pegi dengan wanita itu, Pras. Gue terluka. Sangat dalam. Bahkan dia gak meninggalkan sebaris kata ‘Maaf’ untuk cinta dan yang telah ia khianati. Dan bahkan dengan bodohnya setelah dia beranjak pergi waktu menyuruh gue untuk menanti. Untuk menanti sesuatu yang gak jelas. Absurd. Selama itu, gue berusaha keras untuk bangkit, Pras. Menemukan kembali diri gue, makanya gue memutuskan untuk meninggalkan kota ini. Kota yang penuh kenangan. Dan setelah dua tahun berlalu, rasa sakitnya masih ada, Pras. Disini—di hati ini.” Lanjut Neta kemudian

            Air mata Neta mengalir. Perasaan yang selama ini ia kubur selama dua tahun. Sendirian. Harus pecah juga diiringi dengan air mata yang mengalir. Sudah selama ini Neta menahan diri untuk menangis. Air matanya terlalu mahal jika dibuang hanya untuk menangisi laki-laki yang bahkan tak pantas untuk ditangisi.

            Pras memeluk Neta

            “Net, gue bahkan enggak bisa ngomong apa-apa. Yang lo perlu hanya berdamai dengan masa lalu. Mengikhlaskan semuanya sebagai bagian daripada kehidupan lo. Kita enggak akan pernah bisa menghapus ataupun mengubah masa lalu, Net. Yang kita bisa hanya terus maju, menjalani masa sekarang, menikmati prosesnya. Dan menatap masa depan. Nikmatin sakitnya, Net. Agar lo bisa belajar bagaimana cara menyembuhkannya jangan malah membencinya. Dan sesuatu yang sudah pergi ada baiknya di-ikhlaskan, bukan malah kita disesali dan jangan pernah mengharapkannya untuk kembali. Percuma, buang-buang waktu dan tenaga aja. Gue mau menjalani semuanya dari nol sama lo, Net. Gue sayang sama lo.” bisik Pras kemudian
           Neta melepaskan pelukan Pras. Ia merasa dirinya sudah lebih baik daripada sebelumnya. Berkat Pras selalu ada untuk Neta, menemaninya tanpa perlu terikat ikatan. Tulus. Tanpa perlu balasan. Tanpa Neta sadari, selama ini Pras adalah seorang yang selama ini ia lewatkan. Neta sekarang sadar, apa yang seharusnya ia lakukan sejak dahulu. Meyakinkan diri, bahwa Neta telah siap untuk kembali mencintai.

            Neta tersenyum, “Pras, Makasih ya.
             Pras tersenyum lega. Setidaknya, beban di hatinya sudah hilang. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat lengkung senyum di wajah Neta kembali.

              Preeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet preeeeeeeeeeet preeeeeeeeeeeeet.. Terdengar suara terompet dari halaman berbarengan dengan suara petasan dan kembang api yang menghiasi pekatnya langit malam. Indah.

            “Happy Birthday, Neta..” ucap Pras parau

            “Happy New years, Pras.” sahut Neta cepat
         

            “Ciyee Neta, Pras. Lagi ngapain disitu berduaan. Hahaha.” Timpal Ario dan Jesica bersamaan memecah pandangan Neta dan Pras yang sedari tadi tertumbuk satu sama lain.
               “Apaan sih kalian. Sahut Pras cepat
            “Pras, Net, Sini, turun.” Ajak Rengga kemudian
            Bentar mas, gue sama Pras nanti turun.” Neta melambaikan tangan ke arah kakaknya.
            “Ayo, Net.” Ajak Pras sambil mengenggam tangan Neta
            Neta hanya tersenyum.

            Tanpa perlu menyembunyikan cinta. Pras dan Neta tahu perasaaan mereka masing-masing. Perasaan nyaman yang dibentuk oleh waktu. Perasaan yang tak perlu lidah untuk mengakui, hanya butuh hati yang merasakannya. Detak jantung mereka seirama. Neta sadar, selama ini dirinya tak pernah sendiri, selalu ada Pras yang menemani. Mungkin Pras tak akan berjanji untuk tak meninggalkan Neta sendiri. Tapi Pras membuktikannya dengan aksi yang nyata bahwa tanpa janji, ia selalu ada menemani. Untuk Neta, dan untuk segala hal yang baru. Merealisasikan sebuah resolusi baru, belajar untuk menerima dan mengikhlaskan. Nikmati saja prosesnya, kehidupan ini indah. Tinggal bagaimana cara pandang kita untuk melihat dan memaknainya. Kepada hati, jatuh cinta-lah ketika telah siap menerima dan menikmati proses, jangan tergesa-gesa mencari. Karena yang terbaik adalah menanti saat waktu yang tepat. Saat semua telah siap. Siap pada posisinya masing-masing. Menyakiti atau disakiti, Meninggalkan atau ditinggalkan hanya bagian daripada proses kehidupan. Semoga, waktu mendewasakanmu, segera. 


23 Tahun yang lalu, ketika semua orang sibuk merayakan pergantian tahun seorang bayi perempuan cantik lahir ke dunia ini. Tepat di tanggal 1 Januari, bayi itu kemudian diberi nama Raden Anindya Renata. Neta bersyukur karena hari lahirnya dirayakan oleh semua orang di seluruh dunia. Neta hanya ingin setiap tahunnya, setiap harinya, Ia terus belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.


“Selamat datang, New Neta Years.” Gumam Neta pelan. [*]



Cerpen ini diikutsertakan dalam #NulisKilat @BentangPustaka & @_Plotpoint

*Jumlah : 3.500 kata*



Mita Oktavia
Mita Oktavia Lifestyle Blogger yang suka menulis, melukis, bermain game, dan bertualang | Penawaran kerja sama, silakan hubungi ke hello.mitaoktaviacom@gmail.com

6 komentar untuk "New (Neta) Years"

  1. gua sih ga baca semua, tapi pesen akhirnya lumayan bermakna juga kok .
    teruskan menulis ! perbaiki ketikan yg salah hehee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear anonim, biarpun gak tau siapa dirimu, tapi makasih masukannya :))

      Hapus
  2. Mot, banyak tanda baca yang kelewat hihi diakhir kalimat banyak yang gak pake titik. Tapi overall bagus ^^ Enak ya jadi Neta, lahirnya tanggal 1 Jan, bisa dirayain semua orang kekeke~ Good luck yaaaa semoga menang. Semangat terus buat nulis :*

    BalasHapus
  3. Mot, banyak tanda baca yang kelewat hihi di akhir kalimat banyak yang gak pake titik. Tapi overall bagus ^^ Enak ya jadi Neta, lahirnya tanggal 1 Jan, bisa dirayain semua orang. Good luck ya semoga menang, terus berkarya dan menulis ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang masih ga sih? udah aku benerin kmrn2 :D

      Ya aku masih belajar mungkin masih banyak kurang disana sini ^ ^
      tp makasih fret masukannya. Membantu banget buat ngekoreksi.. Hahahaha aku juga sependapat, seneng banget jadi Neta. Aamiin, Good luck juga buat kamu ya :))

      Hapus
    2. Skekarang udah enggak ^^ kemarin-kemarin sebelum tanda petik, titiknya banyak yang kelewat ^_^ aamiin, makasih juga yaaaa :)

      Hapus