Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumah. Membencimu haruskah?






Ia adalah dirinya. Entah berapa lama. Entah sejak kapan. Ia terus melangkah. Pernah suatu ketika langkahnya terhenti. Terhenti sebentar. Ia pulang ke 'rumah'-nya. Ia pikir 'rumah' itu adalah rumah terakhir baginya. Ia telah lelah. Ia letih melakukan perjalanan yang sangat jauh. Suatu ketika 'rumah' itu pernah sangat berarti baginya. Rumah yang dapat membuatnya belajar banyak hal. Rumah yang dapat membuatnya mengerti. Memahami. Rumah yang dapat membuatnya tertawa bahkan menangis. Rumah yang membuatnya nyaman. 

Ya, itu dahulu. Sebelum semuanya berubah. Jika didalam sebuah rumah sudah ada mereka dan kebahagiaan kenapa pula harus ada kau? Ia marah. Marah sebisa yang ia mampu. 

Ia menangis. Menangis sebisa yang ia lakukan. Bukan karena ia tidak suka. Bukan! 
Ia hanya sedih, mengapa harus ada orang lain di dalam rumahnya? 

Sang pemilik rumahnya nampaknya sudah tidak menginginkan kehadirannya kembali. Rumah itu katanya bosan. Sang pemilik akhirnya mencari penghuni baru. Yang katanya dapat membuatnya merasakan suatu hal yang lebih baik. Ia berkata : "Ya silahkan saja! Lakukan apapun sesuaka hatimu! LAKUKAN! AKU TIDAK PERDULI LAGI!" 

Ia akhirnya pergi. Pergi dari rumah yang dapat membuatnya nyaman. Rumah yang ternyata tak pernah menginginkan kehadirannya. Ya, memang Rumah dan pemiliknya pantas mencari kebahagiaan yang mereka mau. Mungkin saja, Ia bukanlah tujuan yang mereka cari. 

Ia bingung. Ia kehilangan arah. Ia tidak tahu lagi harus kemana. Ia tidak dapat berlari. Untuk berjalan pun kakinya lemas. Ia tidak menyangka akan seperti ini. Rumah yang ia pilih justru tidak memiliknya. Miris! 

Ia mengakui kekalahannya. Ia memutuskan untuk berhenti mencari rumah lain. Ia membenci rumah dan pemiliknya. Ia bahkan sempat mengucapkan sumpah serapah-nya. 

Ya, mungkin saja karena ia marah. karena ia kecewa. karena ia sedih. 

Saat pikirannya sudah jernih dan hatinya cukup tenang. 

Kemudian ia berpikir kembali; Untuk apa? Haruskah? 
Tentu ia tahu apa jawabannya. 


Satu-satunya hal terindah yang dapat ia lakukan hanyalah Mengikhlaskan. Mengikhlaskan semuannya terjadi dan menjadikannya sebuah pelajaran yang sangat berharga. 
Ia tidak ingin berlarut-larut hanyut dalam kemarahan yang tentu akan membuatnya merasa tidak tenang. 

Kini, Ia telah kembali. Kembali untuk melakukan perjalannannya. Bukan untuk mencari rumah yang baru. Tetapi untuk mencari pelajaran hidup yang lain. Ia tidak mau salah memilih rumah lagi. 

Ia hanya cukup menunggu. Menunggu untuk rumah yang mau menerimanya. Bukan karena apa yang ia punya. Bukan karena siapa dia. Tetapi rumah yang dapat menerima ia apa adanya. Menyayanginya. Bukan rumah yang tidak menginnginkan keberadaannya.Untuk apa? Untuk apa bertahan pada rumah yang rentan hancur? Untuk apa bertahan pada rumah yang lapuk. Mudah tergoyah. Mudah hancur.

Suatu hari, entah kapan. Ia pasti dapat menemukannya. Ia Yakin itu
Mita Oktavia
Mita Oktavia Lifestyle Blogger yang suka menulis, melukis, bermain game, dan bertualang | Penawaran kerja sama, silakan hubungi ke hello.mitaoktaviacom@gmail.com

Posting Komentar untuk "Rumah. Membencimu haruskah?"