Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Monolog Kehilangan

Di luar langit masih mendung, udara dingin yang terlalu menusuk menyentuh tubuhku. Hujan selalu memberikan kenangan tersendiri untukku. Rintiknya menyimpan banyak tanya dan cemburu. Hujan diam-diam selalu cemburu kepadaku saat yang berada di sisiku adalah dirimu, Hujan selalu cemburu saat yang selalu ditatap olehku adalah matamu, dan hujan selalu cemburu melihatmu memayungi tubuhku dengan kedua tanganmu yang pucat karena menggigil kedinginan. Aku mencintai jujan, bahkan lebih mencintai hujan daripada Kamu, tetapi, mengapa hujan selalu cemburu kepadamu? 


monolog kehilangan, kehilangan, hujan, ungakapan hati, karya
(Sumber gambar: pexels/Keenan Constance)






Mereka selalu berkata bahwa Hujan dan kehilangan itu dekat, mereka berdua saling mengikat. Aku tak masalah kalau pun harus kehilangan hujan, sebab Aku masih memiliki Kamu yang selalu berada di sisiku. Memilikimu di sampingku rasanya sudah cukup bagiku. Padahal aku bukan manusia yang egois. Aku hanya memilih satu nama yang kemudian aku simpan rapi dalam hatiku. Namun, hujan terlalu kejam, terlalu egois hingga ia merenggut dirimu dari sisiku. 

Aku masih ingat dengan jelas. Saat itu, Hujan terakhir yang aku lalui bersamamu. Hari itu, tak ada senyuman hangatmu yang selalu melengkung indah di wajahmu, tak ada sapaan hangat, tak ada celotehan hangatmu. Kamu hanya terdiam, kita hanya membisu dan saling bertukar tatap. Aku rasa kala itu, aku dan kamu saling menyimpan tanya di dalam hati kita masing-masing. 

"Apakah masih ada cinta yang tertinggal di sudut terdalam hati kita?

Apakah masih ada namaku yang bersemayam di hatimu? Apakah masih ada rindu? 

Apakah masih ada kenangan yang menyatu diantara kita?"

Hingga kamu beranjak pergi dan akhirnya kita berpisah, tak pernah kutemui jawaban atas segala tanda tanya yang bergelayut di dalam hatiku ini. Kau pergi, tak pernah kembali lagi.

Hujan mengajarku tentang kehilangan, tentang bagaimana Aku harus melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Iya, walaupun mungkin suatu saat Tuhan masih mengizinkan kita untuk bertemu kembali, walaupun Kamu tidak benar-benar pergi dari dunia ini, walaupun kamu sesungguhnya Ada, tetapi Kamu hanya pergi dari kehidupanku dan entah tak kembali. Aku merindukanmu seorang diri, bahkan Hujan juga meninggalkan rekam jejak kenangan kita untuk-ku, katanya, “Biar Kamu tidak kesepian”, tetapi Hujan tidak sadar bahwa Hatiku terlalu terluka bahkan untuk sekedar mengingat namanya. Apalagi mengingat tentang kenangan yang ditinggalkan olehnya. 

After Rain, Aku menyadari satu hal bahwa Hujan tidak mesti berbicara tentang patah, meninggalkan-ditinggalkan dan kehilangan, bahwa sesungguhnya Hujan memberikan sebuah pembelajaran, tentang arti daripada bertahan dan ketegaran. Seperti kutipan puisi dari sastrawan yang juga Aku gilai, “Tak ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni, dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.” 

Kehilanganmu adalah hal terburuk di dalam kehidupanku, sungguh! Namun, kehilanganmu pun sekaligus membawa banyak pelajaran berharga untuk-ku.

Aku belajar tentang arti rintik hujan yang pernah Aku lalui bersama denganmu, tentang wangi aroma tanah basah bercampur wangi khas tubuhmu yang selalu membuatku candu,  tentang jejak-jejak langkah kaki kita di tanah basah yang terekam selepas hujan datang menyapa. Hujan yang membuatku merasakan syukur yang tiada tara bahwa Tuhan itu Mahabaik, karena setelah hujan Aku masih baik-baik saja, Aku masih bisa tersenyum. Dengan atau tidak adanya Kamu lagi di sisiku, semua itu tak akan masalah lagi. Sebab, Aku sudah menemukan alasan lain untuk tetap bersinar setelah Hujan turun yang sempat memporak-porandakan hatiku kala itu.

-M.O-
Mita Oktavia
Mita Oktavia Lifestyle Blogger yang suka menulis, melukis, bermain game, dan bertualang | Penawaran kerja sama, silakan hubungi ke hello.mitaoktaviacom@gmail.com

Posting Komentar untuk "Monolog Kehilangan "